Asal mula Kabupaten
Gunungkidul dan Bupati Pontjodirjo, berawal dari runtuhnya kerajaan Majapahit.
Beberapa orang pelarian dari Majapahit masuk melalui Gunung Gambar wilayah
Kecamatan Ngawen, dan berhasil membuka hutan untuk tempat tinggal di Pongangan
wilayah Kecamatan Nglipar. Salah seorang pelarian dari Majapahit, yang
sekaligus sebagai pimpinannya dan masih bersaudara dengan Raja Brawijaya
bernama R. Dewa Katong.
Di Pongangan R. Dewa
Katong, karena kegigihan dan ketekunanya berhasil membangun sebuah dusun dan
tidak lama kemudian banyak dihuni penduduk. Namun R.Dewa Katong tetap melakukan
semedi bertapa, dengan maksud agar kelak anak cucunya menjadi orang yang
berguna bagi orang lain serta tetap diberikan keselamatan oleh Tuhan Yang Maha
Esa.
Tidak lama kemudian R. Dewa
Katong mendapat wagsit bahwa permintaanya dikabulkan, akhirnya R. Dewa Katong
pindah kehutan lain sekitar 10 Km dari Pongangan. Di tempat yang baru ini R.
Dewa Katong karena usianya yang sudah tua akhirnya meningal dunia, dan tempat
ini kemudian diberi nama Desa Katongan hinga saat ini.
Anak dari R. Dewa Katong
yang bernama R.Suromejo, ternyata juga gigih membangun seperti orang tuanya,
sehingga di Pogangan semakin ramai dihuni penduduk, karena keramaian itu
kemudian R. Suromejo memutuskan untuk pindah tempat di dekat pohon Mojo yang
tumbuh diatas karang, tempat ini kemudian diberi nama Karangmojo hingga saat
ini.
Di Karangmojo, R. Suromejo
berhasil membangun lingkungannya, sehingga di tempat yang baru ini juga menjadi
ramai dihuni penduduk. Namun karena keberhasilanya ini akhirnya didengar oleh
Raja Mataram Sunan Amangkurat Amral yang berkedudukan di Kartasuro. Tidak lama
kemudian, Sunan Amangkurat Amral menugaskan Tumenggung Prawiropekso, untuk bisa
membuktikan dan melihat secara langsung kebenaran berita yang menyebutkan bahwa
pelarian dari Majapahit telah berkembang dan membangun Karangmojo.
Sesampainya di Karangmojo,
Tumenggung Prawiropekso langsung memberikan nasehat kepada R. Suromejo agar
secepatnya minta izin kepada Sunan Amangkurat Amral jika ingin tetap tinggal di
Karangmojo, karena Karangmojo ini masuk kekuasaan Mataram. Namun R. Suromejo
berpendapat lain, bahkan menyatakan bahwa tempat ini tidak ada dasar yang
menentukan milik Sunan Amangkurat Amral. karena masing-masing mempertahankan
argumentasinya, akhirnya terjadi peperangan.
Dalam peperangan ini akhirnya
R. Suromejo kalah dan menyerah kepada Tumenggung Prawiropekso. Tiga orang
putranya terbunuh dalam peperangan itu yaitu Ki Mitowijoyo, Ki Poncobenawi, Ki
Ponco Sadewa (menantu) dan hanya seorang putranya masih hidup yaitu Ki
Poncodirjo.
Ki Poncodirjo ini kemudian
takluk, sehingga oleh Pangeran Sambernyowo ditunjuk dan diangkat menjadi Bupati
Gunungkidul yang pertama dengan gelar Mas Tumenggung Poncodirjo pada tahun1831.
Namun demikian Mas
Tumenggung Poncodirjo tidak lama menjabat menjadi Bupati, karena dengan adanya
penentuan batas daerah Gunungkidul, antara Sultan dan Mangkunegoro II pada
tanggal 13 Mei 1831. Maka Gunungkidul pada saat itu dikurangi Ngawen daerah
enelave Mangkunegara telah menjadi daerah Kadipaten.
Selanjutnya, Gunung Kidul terjadi pada masa
berdirinya Kesultanan Yogyakarta. Kala itu yang menjadi raja adalah Sultan
Hamengku Buwono I. Pada waktu pemerintahannya, daerah sepanjang pesisir Laut
Selatan masuk ke dalam wilayah Kesultanan Yogyakarta. Namun, pada waktu itu namanya
bukan Gunung Kidul, tetapi Sumengkar [sekarang wilayah Sambi Pitu, Gunung
Kidul].
Sumingkar itu berasal dari
kata “sumingkir” yang berarti menyingkir dalam bahasa Indonesia. Menurut
sejarah dan keadaan masyarakat Sambi Pitu, mereka adalah pelarian dari
Majapahit, yang menyingkir ke hutan Gunung Kidul saat itu. Berawal dari
Brawijaya yang melarikan diri ke hutan Gunung Kidul dan “babad alas”, dan
menjadikannya desa serta meninggalkan budaya yang beraneka. Kemudian Brawijaya
moksa di Guwa Bribin, Semanu, dikarenakan ketika diminta masuk Islam oleh
Sunan Kalijaga tidak mau. Seperti halnya kini masyarakat yang telah menyebar di
Rongkop, Semanu, Karangmojo, Ngawen, Nglipar, Sambi Pitu, saperangan Pathuk,
dan Panggang, mereka telah menetap di hutan Gunungkidul sebelum terjadinya
Palihan Nagari (perjanjian Giyanti) di Surakarta. Terbukti dengan adanya
kebudayaan Jawa Asli-Hindhu-Buda-praIslam, seperti: tledhek, rasulan, cing
nggoling, babad alas, reyog, peninggalan Hindu dan Buddha, dan sebagainya.
Di Sumingkar Adipati
Wiranagara didapuk menjadi adipati. Beliau memiliki dua istri, yang pertama
berasal dari Sumingkar, dan yang satunya adalah pemberian Sultan. Dikarenakan
istri yang satu dari kraton Ngayogyakarta, sudah dapat dipastikan semua adipati
mendapatkan kesenangan dalam bentuk apa saja dari rajanya. Suatu ketika sang
adipati bertamu ke Kraton Ngayogyakarta, beliau mendapat titah dari Kanjeng
Sultan supaya memindahkan kota Praja Kabupaten Gunungkidul yang saat itu berada
di Sumingkar (Sambi Pitu) menuju Hutan Nangka Dhoyong [yang kini menjadi
Kabupaten Gunung Kidul]. Kota praja kabupaten Gunungkidul perlu dipindhah
menurut tata letak tempat, sehingga kurang pas. Dan dirasa oleh Sultan kurang
memberikan kenyamanan menyeluruh di kabupaten Gunungkidul. Itulah yang
diceritakan oleh rakyat. Setelah pulang dari Kraton Ngayogyakarta, Adipati
Wiranagara memanggil seluruh orang kepercayaan di Sumingkar supaya datang
ke pendhapa kabupaten. Namun hingga waktu yang telah di tentukan sang Adipati
belum juga memulai pertemuan di karenakan Demang Wanapawira, yaiku Demang
Piyaman (wilayah Piyaman sampai Nglipar sekarang ini), belum terlihat di
pendhapa kabupaten. Para hadirin yang ada disana saat itu memiliki pandangan
yang berbeda tentang belum hadirnya Demang Wanapawira. Sebelum Demang
Wanapawira tiba, Rangga Puspawilaga asal Siraman, berkata kepada Adipati
Wiranagara supaya Demang Wanapawira diberi hukuman karena terlambat datang.
Namun usul itu tidak disetujui Sang Adipati bahkan Sang Adipati marah kepada
Puspawilaga.
Dikarenakan Demang tak
kunjung datang, maka Adipati Wiranagara pun memulai pertemuan itu. Beliau
menceritakan kepada para hadirin saat itu. Namun mereka hanya bisa terdiam saat
Adipati memerintahkan untuk membabad Hutan Nangka Dhoyong yang terkenal angker.
Dan Sang Adipati pun menjelaskan jika tidak dilakukan pembabadan dan tidak
memindahkan Kadipaten Sumingkar maka akan terjadi bencana hingga seluruh
Kesultanan Ngayogyakarta. Adipati meminta agar dari sekian yang hadir berkenan
melaksanakan titah Sultan, namun semua hanya diam. Sehingga beliau pun ingin
melakukan titah Sultan sendirian. Namun tetika pernyataan itu muncul datanglah
Sang Demang Wanapawiro. Sang Demang pun bersedia membabad Alas Nangka Dhoyong
untuk membangun kota praja Kabupaten Gunungkidul, seperti halnya titah Sultan
Hamengkubuwana.
Sebelum melaksanakan babad
alas, Demang Wanapawiro menuju Piyaman meminta saran kepada Nyi Nitisari. Nyi
Niti adalah saudara kandung dari Demang Wanapawiro. Mereka termasuk dari
keturunan pelarian Majapahit waktu itu. Nyi Niti itu adalah orang yang terkenal
di Gunung Kidul. Beliau dikenal supranatural dan paham tentang Hutan Nangka
Dhoyong. Nyi Niti menyarankan sebelum babad alas agar melakukan selametan dan
pensucian diri.
Kemudian Demang Wanapawiro
dibantu dalam melaksanakan tirakat di bawah pohon tua yang besar. Mereka selalu
mendapatkan gangguan dari jin dan makhluk halus lainnya. Namun semua itu
dilalui tanpa takut. Malah makhluk-makhluk itu yang kalah. Dan munculah Nyi
Gadhung Melati penghuni sekaligus utusan penguasa Laut Kidul, sehingga
terjadilah pertarungan antara mereka. Dalam perterungan ini tak satupun yang
dapat dikalahkan sehingga muncul perundingan dan Nyi Niti serta Demang
Wanapawiro menceritakan niat mereka untuk babad alas untuk menjadikan Kota
Praja. Akhirnya Nyi Gadhung Melati merestui tentu atas ijin Ratu Kidul. Namun
harus ada syaratnya, yaitu agar pohon tua itu tidak ditebang supaya untuk
menjaga masyarakat menempati wilayah itu nantinya. Syarat itu pun disetujui
oleh Nyi Niti serta Demang Wanapawiro. Dan Nyi Gadhung Melati dengan segera
memerintahkan kepada para Jin untuk membantu terwujudnya Kota Praja dengan
membabad Hutan Nangka Dhoyong.
Setelah perundingan
selesai, Demang Wanapawiro segera menghadap Adipati Wiranagara untuk meminta
persetujuan agar segera terlaksana dalam babad alas tersebut. Nyi Niti serta
Demang Wanapawiro yang dibantu oleh penduduk Piyaman mengadakan selametan untuk
babad alas. Diceritakan juga bahwa penduduk Piyaman ikut membantu babad alas
dikarenakan lihai dan terbiasa babad alas. Kini terwujudlah Kota Praja yang
diinginkan Sultan Hamengkubuwana I.
Adipati Wiranagara memuji
Demang Wanapawiro yang bisa mengubah hutan belantara menjadi sebuah kota.
Diceritakan ada salah satu Putri dari Kepanjen Semanu (putra-putrinnya Panji
Harjadipura) bernama Rara Sudarmi yang bersama Mbok Tuminah. Rara Sudarmi
bertemu dengan Demang Wanapawiro yang juga menyukai Rara Sudarmi. Rara Sudarmi
lan Mbok Tuminah akhirnya bertamu ke rumah Nyi Niti yang tak lain adalah
saudara jauh dari Panji Harjadipura ayah Rara Sudarmi. Singkat cerita, Demang
Wanapawira dan Rara Sudarmi dijodohkan dan menikah yang disaksikan oleh Ki Niti
dan Mbok Nitisari.
Dalam waktu yang tidak lama
Kota Praja yang dulunya Hutan Nangka Dhoyong kini menjadi ramai. Adipati
Wiranegara sekali lagi memberi keparcayaan kepada Demang Wanapawira agar dapat
membangun koya praja yang asri dan indah. Adipati Wiranegara melaporkan karya
Demang Wanapawira kepada Sultan Hamengkubuwana melalui Patih Danureja. Karena
jasanya dalam membabad Alas Nangka Dhoyong menjadi kota yang asri. Rakyat
rakyatpun memuji Demang Wanapawira.
Peresmian bekas Hutan
Nangka Dhoyong pun terlaksana dan Sultan Hamengkubuwana I member tanda Kota
Nangka Dhoyong diambil dari nama ‘Wanapawira’ digabungkan dengan nama
‘Nitisari’, menjadi ‘Wanasari’. Sekarang biasa disebut ‘Wonosari’. Adapula yang
menyebut nama kutha praja Gunungkidul yang terbentuk dari babad alas ini
berasal dari nama ‘Wana’ yang berarti ‘alas’ atau hutan dalam bahasa Indonesia,
dan kata ‘asri’ yang sering terucap ‘sari’artinya ‘endah’ atau indah dalam
bahasa Indonesia.
Kemudian Demang Wanapawira
diangkat menjadi adipati dengan gelar Adipati Wiranegara II. Panji Harjadipura
diangkat jadi patih panitipraja Kabupaten Gunungkidul. Akhirnya nama Wanapawira
dan Rara Sudarmi menyatu. Dimana Wanapawira, (‘Wana’ atau ‘wono’ berarti
‘alas’ atau hutan, ‘pawira’ berarti ‘wong lanang-kendel-prajurit/ seorang
prajurit lelaki yang tangguh’), bisa ‘membabad’ semua kadurhakaan yang ada di
kanan kirinya, dengan kesungguhan dalam hatinya. Yaitu ‘alas rowe/kekuatan’ di
dalam hati. Tentu dengan ‘ilmu’ dan ‘saudara’ yang dapat menguatkan dirinya,
menjadi ‘tukang babad’, sesungguhnya.
Sumber sumber berasal dari
cerita lisan (cerita rakyat) yang sementara masih menjadi misteri di
Gunungkidul sebelah lor-kulon [utara-barat]. Diceritakan oleh Sastra Suwarna,
mantan Kadus Piyaman I, Gunungkidul, dengan tambahan yang dirasa perlu untuk
penulisan. Serta masih ada cerita yang belum tersingkap di Karangmojo-Ponjong-Semanu
mengenai asal usul Kota Wonosari Kabupaten Gunungkidul, yang dirasa berbeda
‘kepentingan’ dengancerita lisan ini. Atau versi babad yang bewujud buku atau
naskah yang tersimpan rapat di dalam Kraton Ngayogyakarta.
Untuk Kabupaten Gunungkidul, data yang saya peroleh
menyimpulkan bahwa hari lahir Kabupaten Gunungkidul adalah Hari Jumat Legi
tanggal 27 Mei 1831 atau Tahun Jawa 15 Besar Tahun Je 1758 dan dikuatkan dengan
Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Gunungkidul No : 70/188.45/6/1985
tentang Penetapan hari, tanggal bulan dan tahun Hari Jadi Kabupaten Gunungkidul
yang ditandatangani oleh bupati saat itu Drs KRT Sosro Hadiningrat tanggal 14
Juni 1985.
BUPATI
YANG PERNAH MEMIMPIN KABUPATEN GUNUNGKIDUL:
1.
Mas Tumenggung Pontjodirjo
2.
Raden Tumenggung Prawirosetiko
3.
Raden Tumenggung Suryokusumo
4.
Raden Tumenggung Tjokrokusumo
5.
Raden Tumenggung Padmonegoro
6.
Raden Tumenggung Danuhadiningrat
7.
Raden Tumenggung Mertodiningrat
8.
KRT. Yudodiningrat
9.
KRT. Pringgodiningrat
10.
KRT. Djojodiningrat
11.
KRT. Mertodiningrat
12.
KRT. Dirjodiningrat
13.
KRT. Tirtodiningrat
14.
KRT. Suryaningrat
15.
KRT. Labaningrat
16.
KRT. Brataningrat
17.
KRT. Wiraningrat
18.
Prawirosuwignyo
19.
KRT. Djojodiningrat, BA
20.
Ir. Raden Darmakun Darmokusumo
21.
Drs. KRT. Sosrodiningrat
22.
Ir. Soebekti Soenarto
23.
KRT. Harsodingrat, BA
24.
Drs. KRT. Hardjohadinegoro (Drs.Yoetikno)
25.
Suharto, SH.
26.
Prof. DR. Ir. H. Sumpeno Putro, M.Sc
27.
Hj. Badingah, S.Sos. [saat ini]
Situs
Sejarah:
Pertapan
Kembang Lampir (tempat turunnya wahyu kerajaan Mataram Islam)
Pesarehan
Ki Ageng Giring IV
Pesarehan
R. Bondan Kejawan
Prasasti
Ngobaran, dll
Secara
yuridis, status Kabupaten Gunungkidul sebagai salah satu daerah kabupaten kabupaten
yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam lingkungan
Daerah Istimewa Yogyakarta dan berkedudukan di Wonosari sebagai ibukota
kabupaten, ditetapkan pada tanggal 15 Agustus 1950 dengan UU no 15 Tahun 1950
jo Peraturan Pemerintah No 32 tahun 1950 pada saat Gunungkidul dipimpin oleh
KRT Labaningrat.
Guna
mengabadikan Hari Jadi Kabupaten Gunungkidul dibangun prasasti berupa tugu di
makam bupati pertama Mas Tumenggung Pontjodirjo dengan bertuliskan Suryo
sangkala dan Condro sangkala berbunyi : NYATA WIGNYA MANGGALANING NATA ”
HANYIPTA TUMATANING SWAPROJO” Menuruut Suryo sangkala tahun 1831 dibalik 1381,
sedang Condro sangkala 1758 dibalik 8571.
Sesuai
dengan Perda Nomor : 1 tahun 1968 Lambang Daerah pemerintah Kabupaten
Gunungkidul mengandung makna tersendiri sebagai berikut :
1.
Perisai
sebagai alat penangkis serangan musuh/untuk melindungi diri.
2.
Bintang
bersudut 5(lima) berwarna kuning emas, mengingatkan akan keagunganl Tuhan Yang
Maha Esa sebagai sumber segala
perikehidupan dan penghidupan serta "Sangran paraning dumadi".
3.
Lukisan
pohon beringin yang melambangkan pengayoman, tempat berteduh bagi rakyat
yang memerlukan pimpinan dan
perlindungan dengan 5 (lima) akar dasar yang berarti bahwa kepemimpinan di dalam Daerah Kabupaten
Gunungkidul berdasarkan dan berlandaskan Falsafah Negara Republik Indonesia: Pancasila.
4.
Pohon
bercabang 3 (tiga) melambangkan, bahwa Pemerintah sebagai pelindung dari
rakyat mempunyai 3 (tiga) bidang, yakni
: legislatif,eksekutif dan yudikatif. Pohon beringin mempunyai sulur (akar
angin) 8 buah (sebelah menyebelah pokok pohon 4
sulur) berarti bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten Gunungkidul dalam
melindungi, membina dan memimpin maupun
memerintah rakyat mengulurkan tangannya dan memberikan kesempatan kepada rakyat untuk ikut serta secara aktif dalam
pemerintahan dengan jalan melaksanakan dan
memberikan social control, social participation dan social responbility
sehingga dapat tercapai koordinasi,
integrasi, sinkronisasi dan simplifikasi.
5.
Roda
bergigi, dalam naungan/pengayoman pemerintah, rakyat Gunungkidul giat membangun
segala bidang yang dilukiskan dengan
sebuah roda bergigi berwarna putih perak, karenanya pembangunan dilaksanakan dengan kesucian lahir batin.
6.
Lukisan
busur panah berwarna merah putih berarti rakyat Gunungkidul gigih berjuang
melawan semua penghambat pembangunan di
segala bidang yang ada dalam semangat kesatuan dan persatuan yang digambarkan dengan, warna-warni
sang saka, bendera pusaka kita:merah putih.
7.
Setangkai
daun ketelah pohon (singkong) menggambarkan hasil produksi terbanyak didaerah Gunungkidul.
8.
Sepasang
burung lawet berwarna hitam menggambarkan salah satu hasil daerah Gunungkidul
yang tinggi nilainya yakni sarang
burungnya. Selain itu burung lawet adalah burung yang tahan hidup di daerah yang sangat sulit. Demikian pula
rakyat Gunungkidul, meskipun tempat tinggalnya tandus dan sangat sulit, namun
dengan semangat dan penuh keinsyafan dan rasa tanggung jawab terhadap generasi yang akan datang selalu
berusaha dengan sekuat tenaga menghasilkan kerja yang kondusif dan produktif.
9.
Keris
luk 5, dapur : Pandawa, berwarna kuning emas, mewujudkan senjata ampuh dan
naluri di tangan dan
pemimpin-pemimpinnya dalam menghadapi segala tantangan dan rintangan.
10.
Sederetan
bukit berjumlaha 8 (delapan) buah menggambarkan daerah Gunungkidul yang
berbukit- bukit. Perlu kemantapan serta
keteguhan hati untuk mengolahnya. Bukit yang berjumlah 8 (delapan) buah melambangkan "Hasta
Dharma yaitu :
·
Pengayoman
seluruh rakyat tanpa membedakan golongan aliran dan agama.
·
Pemberi
petunjuk dan bimbingan kepada rakyat menunjukkan ketertiban dan keamanan.
·
Penyuluh
dalam gelap dan penolong dalam penderitaan bagi seluruh lapisan
masyarakat, sehingga
terjadi ketenangan dan ketentraman lahir dan batin.
·
Pembina
semangat kehidupan masyarakat sehingga tertanam sikap dan sifat dinamis,
konstruktis, dan korektif.
·
Pembangkit
dan pemupuk daya cipta menuju ke arah kesejahteraan masyarakat.
·
Sifat
sabar, tekun, ulet dan bijaksana agar dapat menampung dan mencarikan
penyelesaian segala persoalan hidup dan
kehidupan rakyat sehari-hari.
·
Penggerak
segala kegiatan masyarakat menuju tercapainya masyarakat adil makmur yang
diridhoi Tuhan Yang Maha Esa.
·
Memberantas
kejahatan dan kemaksiatan dengan jalan bertindak tegas, adil dan jujur
tanpa pandang bulu dan harus menjadi
teladan didalam kebaikan lahir, batin dan kemaslahatan.
11.
Setangkai
padi berisi 5 (lima) butir padi berwarna kuning emas melambangkan kemakmuran
Bangsa Indonesia umumnya dan khususnya
yang dicita-citakan rakyat Gunungkidul dalam bidang pangan.
12. Setangkai kapas berbunga 4 (empat)
buah dan berdaun 8 (delapan) helai melambangkan
kemakmuran Bangsa Indonesia umumnya dan Kabupaten Gunungkidul khususnya
pada bidang sandang.
13. Lukisan laut dengan gelombang/ombak
yang berjumlah 17 (tujuh belas) berwarna putih perak menggambarkan bahwa Daerah Kabupaten
Gunungkidul berbatasan dengan Lautan Indonesia
yang kaya raya.
14. Rumput laut yang digambarkan
berwarna coklat mewujudkan hasil Gunungkidul yang penting.
15. Sehelai pita kuning bertuliskan
"GUNUNGKIDUL" sebagai petunjuk bahwa lambang tersebut milik Daerah Kabupaten Gunungkidul
16. Warna-warna melambangkan sifat
sebagai berikut :
Ø Kuning/kuning emas : keluhuran
yang bijaksanya atau cendekia
Ø Hijau : doa, harapan dan
Kepercayaan.
Ø Biru : ketaatan, kesetiaan
Ø Hitam : Kemantapan, keteguhan
dan kekekalan
Ø Merah : berani yang gagah
perkasa
Ø Putih : Kesucian yang bersih
tanpa pamrih
Ø Cokelat : kokoh, sentosa
Bangunan periode Islam ini terletak di Dusun Watugajah Desa
Girijati Kecamatan Purwaosari. Situs ini seluas 13.200 meter persegi dan
terletak di ketinggian 138 mdpl. Memliki struktur bangunan berteras dan
berbahan batu putih. Di dalam OV (Oudheidkundige Verslag) tahun 1925 FDK Bosch
menyebut bangunan ini berasal dari abad XVI dan berdasar gaya arsitektur dan
pilar-pilar yang masih nampak bercorak Islam. Kisah tutur yang berkembang
di masyarakat sekitar, pesanggrahan ini merupakan pesanggrahan putra-putra
Prabu Brawijaya.
Gunung
Kidul memiliki semboyan HANDAYANI :
H kependekan dari Hijau berarti :
Bahwa penghijuaan di Kawasan
Kabupaten Gunungkidul tetap
dan terus digalakkan agar tetap hijau sehingga menambah dan meningkatkan
kesuburan dan karena hijau adalah kunci keberhasilan pebangunan di Kabupaten
Gunugkidul.
A kependekan dari Aman berarti:
Bahwa suasana di Kabupaten
Gunungkidul diharapkan selalu dala keadaan aman dan tentram, yang senantiasa
terjaga ketertiban dan keamanannya sehingga dapat menunjang stabilitas
nasional.
N kependekan dari Normatif berarti:
Segala tidakan semua aparat
pemerintah beserta masyarakat senantiasa berdasarkan hukum dan peraturan
perudang-undangan yang berlaku untuk mewujudkan aparatur pemerintah yang bersih
dan wibawa serta masyarakat dan sadar hukum.
D kependekan dari Dinamis berarti:
Masyarakat dalam melaksanakan
kegiatan pembangunan penuh semangat, jiwa dan tenaga sehingga dapat bergerak
dan mudah menyesuaikan diri dengan keadaan dalam mencapai keberhasilan pembangunan.
A kependekan dari Amal berarti:
Masyarakat Gunugkidul senantiasa
sadar untuk melakukan amal shaleh dan atau
perbuatan luhur dengan berlandaskan iman yang kuat serta taqwa kepada Tuha YME.
perbuatan luhur dengan berlandaskan iman yang kuat serta taqwa kepada Tuha YME.
Y kependekan dari Yakin berarti:
Aparatur pemerintah dan masyarakat
harus percaya diri sendiri, tegas dan mantap dalam bertindak dan mengambil
keputusan sehigga dalam melaksanakan setiap program kerja/kegiata pembangunan
di yakini dapat berhsil dengan baik dan semakin meningkat.
A kependekan dari Asah Asih Asuh berarti :
Untuk menggrakkan masyarakat
Gunungkidul dalam melaksanakan pembangunan senantiasa mengembangkan sikap-sikap
mendidik/melatih dengan penuh kasih sayag, dan membimbingnya serta memelihara
supaya dapat mempunyai kemampuan untuk mandiri.
N kependekan dari Nilai Tambah berarti:
Hasil dari setiap usaha diharapkan
selalu mempunyai nilai tambah sehingga dapat semakin meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
I kependekan dari Indah berarti:
Lingkungan panorama alam
Gunungkidul yang indah, menarik dan menawan perlu dilestarikan serta
obyek-obyek wisata relijious, wisata budaya,wisata sejarah, wisata pantai,
wisata goa maupun wisata hutan perlu ditingkatkan penataannya agar lebih
menarik para wisatawan sehingga mampu menambah dan meningkatkan pendapatan
daerah.
Saya tulis ulang cerita ini
dari berbagai sumber blog. Serta saya tambahkan kata yang diperlukan saat
menyusun dan menyatukan cerita ini. Dalam menyatukan cerita-cerita ini, saya
tidak bermaksud untuk melecehkan atau merusak cerita yang sudah ada terlebih
dahulu.
Sumber :
http://www.wonosari.com/t2889-note-asal-usul-wonosari-pada-babad-alas-nangka-dhoyong
yang berbahasa Jawa dan saya terjemahkan dalam bahasa Indonesia.
5 komentar:
Rest Area Jalur Wisata Solo – Pantai Indrayanti, Pantai Baron ... Rest Area Jalur Mudik Solo – Wonosari ...
HUBUNGI: 085-628-444-56 / 085-227-623-449
Aneka jajan & Oleh-oleh Grosir & Eceran ...
(Singkong bakar, tempe kripik, gadung, stik balado, cumi sayur, lipetan, kripik singkong, manggar pedas, makroni, potato stik, kembang jambu, kacang, dll..)
TOKO MOJOREJO - MOJOREJO MOTOR
Jl. Raya Watukelir – Semin Gunung Kidul Km.3 Alascilik (Pule)
Tegalgiri, Krajan, Weru, Sukoharjo
(600 meter utara pasar Candirejo-Semin)
Toko warna warni sebelah timur jalan.. Habis tanjakan dari arah solo setelah balai desa krajan..
Buka sampai malam.. Hari Besar & Minggu tetap buka..
Agar perjalanan anda tetap lancar kami sediakan:
Ban Murah – Berkwalitas – Made In Indonesia
2.25-17 = Rp. 65.000,-
2.50-17 = Rp. 65.000,-
2.75-17 = Rp. 65.000,-
Sedia aneka macam olie:
Shell Adv AX5, Shell Adv SX, Enduro 4T, Federal UT, Federal Flick, Castrol Go, Castrol Activ, Yamalube, Mesran, Evalube 2T, SGO 4T, Top1, AHM MPX1, AHM MPX2
Kami sediakan untuk anda segala kebutuhan perkantoran & accesories perlengkapan sekolah, jam tangan gaul, kalkulator, perlengkapan pramuka, Fotokopi..
oke. terima kasih infonya....
kebetulan aku punya keluarga di daerah kec semin. tepatnya di sempu kidul.
Mungkin lain waktu aku bsa mampir di bengkel anda
Sebelumnya saya mohon maaf dalam berkomentar.. Mohon kalau membuat artikel yang berbau sejarah jangan asal tulis, jangan asal comot sana sini, jangan asal copy paste dari sumber lain dan harus bisa membuktikan sumber sejarahnya sehingga bisa menjadi acuan bukan malah menyesatkan sejarah…!! Dari artikel ini menurut saya telah terjadi “PENYESATAN SEJARAH” sehingga akan membawa pembaca untuk meyakini suatu hal yang salah..! Parahnya kalau hal ini disebarluaskan sehingga membawa dampak buruk yaitu pembodohan terhadap masyarakat. Beberapa hal yang menurut saya terjadi kejanggalan dan kesalahan dalam hal ini adalah;
1. Kalau tokoh yang bernama “R. Dewa Katong” itu benar saudara Brawijaya V, pertanyaan saya adl berapa umur beliau sampai dengan meninggalnya..?? Karena Brawijaya V (Bhre Kertabhumi) itu telah wafat pada tahun 1478, mungkinkah beliau berumur lebih dari 400 tahun..??? Demikian juga anaknya yang bernama R Suromejo, benarkah beliau anak dari “R Dewa Katong”..? Apakah mungkin beliau juga berumur ratusan tahun…?
2. Pada tahun 1831, Kerajaan Mataram sudah tidak ada lagi..!, Terus Mataram yang mana saat itu? Karena yang ada adalah KASUNANAN SURAKARTA, KASULTANAN NGAYOGYAKARTA HADININGRAT, PROJO MANGKUNEGARAN dan PROJO PAKU ALAMAN.
3. Amangkurat Amral atau Amangkurat II adalah Raja Mataram yang memerintah tahun 1677-1703, mungkinkah terjadi beliau masih hidup pada tahun 1831..? kalau ternyata atau misal terjadi kesalahan tahun pelantikan bupati I GK, inipun juga terjadi periode waktu yang membingungkan, karena bagaimana mungkin beliau memerintahkan orang yang pada jamannya beliau berkuasa orang itu ( Pangeran Sambernyowo) belum lahir…??
4. Kalau benar Bupati I Gunung Kidul Pontjodirjo di lantik pada tahun 1831 oleh Pangeran Sambernyowo atau KGPAA Mangkunegoro I hal ini terjadi suatu kesalahan periode lagi..! Karena Beliau memerintah tahun 1757-1795. Bagai mana mungkin beliau bisa “Hidup lagi” pada tahun 1831 hanya untuk melantik Pontjodirjo menjadi bupati Gunung Kidul..?? Yang bergelar “PANGERAN SAMBERNYOWO” itu hanya RM Sahid atau Mangkunegoro I dan yang memberi gelar itu adalah Nicolaas Hartingh, gubernur VOC, karena di dalam setiap peperangan RM. Sahid selalu membawa kematian atau menebar maut bagi musuh-musuhnya. Tidak ada Pangeran lain yang bergelar Sambernyowo meskipun di lingkungan Mangkunegaran sendiri. Kalau Pontjodirjo benar dilantik oleh pihak Mangkunegaran yang paling memungkinkan dan pas adalah Mangkunegoro II karena beliau memerintah tahun 1796-1835 tetapi beliau tidak bergelar Sambernyawa.
5. Disebutkan juga bahwa pada jaman Hamengku Buwono I terjadi peralihan nama dari Gunung Kidul menjadi Sumengkar dan ini dari urutan paragraph ditulis “SELANJUTNYA” artinya ini terjadi setelah penentuan batas wilayah antara Mangkunegoro II dan Sultan, kata-kata ini pun juga saya ambil pada paragraph sebelumnya. Sampai pada cerita ini menurut saya telah terjadi lagi Pemerintahan yang membingungkan….! Bagaimana tidak membingungkan..?
a. Sultan Hamengku Buwono I (HB I) wafat pada tahun 1792 dan Mangkunegoro II (MN II) memerintah 1796-1835 sedangkan dalam artikel ini di tulis telah terjadi perjanjian antara Mangkunegoro II dengan Sultan. Mungkinkah RM Sulomo sebelum menjadi MN II telah di akui kekuasaannya oleh HB I…? ataukah setelah pelantikan MN II 1796 HB I masih hidup..?
b. Disebutkan telah terjadi nama Gunung kidul berubah menjadi Sumengkar dengan Bupatinya bernama Wiranegara bahkan masih di teruskan oleh Wiranegara II. Tetapi dalam daftar nama bupati yang pernah memerintah kabupaten Gunung Kidul TIDAK ADA nama “WIRANEGARA”. Adakah bukti atau catatan sejarah yang mendukungnya…?
c. TERIMA KASIH………
tp aku pernah baca_R Brawajiya itu moksa nya di Ngobaran(terbukti di sana ada petilasannya) bukan Bribin(sebab rentetan cerita Bribin ada lagi malah jaman wali(sungai Ngrènèng).
maturnuwun.
Posting Komentar