Pengikut

Sabtu, 29 Desember 2012

ASAL USUL KABUPATEN GUNUNG KIDUL DAN WONOSARI



 Asal mula Kabupaten Gunungkidul dan Bupati Pontjodirjo, berawal dari runtuhnya kerajaan Majapahit. Beberapa orang pelarian dari Majapahit masuk melalui Gunung Gambar wilayah Kecamatan Ngawen, dan berhasil membuka hutan untuk tempat tinggal di Pongangan wilayah Kecamatan Nglipar. Salah seorang pelarian dari Majapahit, yang sekaligus sebagai pimpinannya dan masih bersaudara dengan Raja Brawijaya bernama R. Dewa Katong.

Di Pongangan R. Dewa Katong, karena kegigihan dan ketekunanya berhasil membangun sebuah dusun dan tidak lama kemudian banyak dihuni penduduk. Namun R.Dewa Katong tetap melakukan semedi bertapa, dengan maksud agar kelak anak cucunya menjadi orang yang berguna bagi orang lain serta tetap diberikan keselamatan oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Tidak lama kemudian R. Dewa Katong mendapat wagsit bahwa permintaanya dikabulkan, akhirnya R. Dewa Katong pindah kehutan lain sekitar 10 Km dari Pongangan. Di tempat yang baru ini R. Dewa Katong karena usianya yang sudah tua akhirnya meningal dunia, dan tempat ini kemudian diberi nama Desa Katongan hinga saat ini.

Anak dari R. Dewa Katong yang bernama R.Suromejo, ternyata juga gigih membangun seperti orang tuanya, sehingga di Pogangan semakin ramai dihuni penduduk, karena keramaian itu kemudian R. Suromejo memutuskan untuk pindah tempat di dekat pohon Mojo yang tumbuh diatas karang, tempat ini kemudian diberi nama Karangmojo hingga saat ini.

Di Karangmojo, R. Suromejo berhasil membangun lingkungannya, sehingga di tempat yang baru ini juga menjadi ramai dihuni penduduk. Namun karena keberhasilanya ini akhirnya didengar oleh Raja Mataram Sunan Amangkurat Amral yang berkedudukan di Kartasuro. Tidak lama kemudian, Sunan Amangkurat Amral menugaskan Tumenggung Prawiropekso, untuk bisa membuktikan dan melihat secara langsung kebenaran berita yang menyebutkan bahwa pelarian dari Majapahit telah berkembang dan membangun Karangmojo.

Sesampainya di Karangmojo, Tumenggung Prawiropekso langsung memberikan nasehat kepada R. Suromejo agar secepatnya minta izin kepada Sunan Amangkurat Amral jika ingin tetap tinggal di Karangmojo, karena Karangmojo ini masuk kekuasaan Mataram. Namun R. Suromejo berpendapat lain, bahkan menyatakan bahwa tempat ini tidak ada dasar yang menentukan milik Sunan Amangkurat Amral. karena masing-masing mempertahankan argumentasinya, akhirnya terjadi peperangan.

Dalam peperangan ini akhirnya R. Suromejo kalah dan menyerah kepada Tumenggung Prawiropekso. Tiga orang putranya terbunuh dalam peperangan itu yaitu Ki Mitowijoyo, Ki Poncobenawi, Ki Ponco Sadewa (menantu) dan hanya seorang putranya masih hidup yaitu Ki Poncodirjo.

Ki Poncodirjo ini kemudian takluk, sehingga oleh Pangeran Sambernyowo ditunjuk dan diangkat menjadi Bupati Gunungkidul yang pertama dengan gelar Mas Tumenggung Poncodirjo pada tahun1831.

Namun demikian Mas Tumenggung Poncodirjo tidak lama menjabat menjadi Bupati, karena dengan adanya penentuan batas daerah Gunungkidul, antara Sultan dan Mangkunegoro II pada tanggal 13 Mei 1831. Maka Gunungkidul pada saat itu dikurangi Ngawen daerah enelave Mangkunegara telah menjadi daerah Kadipaten.

Selanjutnya, Gunung Kidul terjadi pada masa berdirinya Kesultanan Yogyakarta. Kala itu yang menjadi raja adalah Sultan Hamengku Buwono I. Pada waktu pemerintahannya, daerah sepanjang pesisir Laut Selatan masuk ke dalam wilayah Kesultanan Yogyakarta. Namun, pada waktu itu namanya bukan Gunung Kidul, tetapi Sumengkar [sekarang wilayah Sambi Pitu, Gunung Kidul].

Sumingkar itu berasal dari kata “sumingkir” yang berarti menyingkir dalam bahasa Indonesia. Menurut sejarah dan keadaan masyarakat Sambi Pitu, mereka adalah pelarian dari Majapahit, yang menyingkir ke hutan Gunung Kidul saat itu. Berawal dari Brawijaya yang melarikan diri ke hutan Gunung Kidul dan “babad alas”, dan menjadikannya desa serta meninggalkan budaya yang beraneka. Kemudian Brawijaya moksa di Guwa Bribin, Semanu, dikarenakan ketika diminta masuk Islam  oleh Sunan Kalijaga tidak mau. Seperti halnya kini masyarakat yang telah menyebar di Rongkop, Semanu, Karangmojo, Ngawen, Nglipar, Sambi Pitu, saperangan Pathuk, dan Panggang, mereka telah menetap di hutan Gunungkidul sebelum terjadinya Palihan Nagari (perjanjian Giyanti) di Surakarta. Terbukti dengan adanya kebudayaan Jawa Asli-Hindhu-Buda-praIslam, seperti: tledhek, rasulan, cing nggoling, babad alas, reyog, peninggalan Hindu dan Buddha, dan sebagainya.

Di Sumingkar Adipati Wiranagara didapuk menjadi adipati. Beliau memiliki dua istri, yang pertama berasal dari Sumingkar, dan yang satunya adalah pemberian Sultan. Dikarenakan istri yang satu dari kraton Ngayogyakarta, sudah dapat dipastikan semua adipati mendapatkan kesenangan dalam bentuk apa saja dari rajanya. Suatu ketika sang adipati bertamu ke Kraton Ngayogyakarta, beliau mendapat titah dari Kanjeng Sultan supaya memindahkan kota Praja Kabupaten Gunungkidul yang saat itu berada di Sumingkar (Sambi Pitu) menuju Hutan Nangka Dhoyong [yang kini menjadi Kabupaten Gunung Kidul]. Kota praja kabupaten Gunungkidul perlu  dipindhah menurut tata letak tempat, sehingga kurang pas. Dan dirasa oleh Sultan kurang memberikan kenyamanan menyeluruh di kabupaten Gunungkidul. Itulah yang diceritakan oleh rakyat. Setelah pulang dari Kraton Ngayogyakarta, Adipati Wiranagara memanggil seluruh orang kepercayaan  di Sumingkar supaya datang ke pendhapa kabupaten. Namun hingga waktu yang telah di tentukan sang Adipati belum juga memulai pertemuan di karenakan Demang Wanapawira, yaiku Demang Piyaman (wilayah Piyaman sampai Nglipar sekarang ini), belum terlihat di pendhapa kabupaten. Para hadirin yang ada disana saat itu memiliki pandangan yang berbeda tentang belum hadirnya Demang Wanapawira. Sebelum Demang Wanapawira tiba, Rangga Puspawilaga asal Siraman, berkata kepada Adipati Wiranagara supaya Demang Wanapawira diberi hukuman karena terlambat datang. Namun usul itu tidak disetujui Sang Adipati bahkan Sang Adipati marah kepada Puspawilaga.

Dikarenakan Demang tak kunjung datang, maka Adipati Wiranagara pun memulai pertemuan itu. Beliau menceritakan kepada para hadirin saat itu. Namun mereka hanya bisa terdiam saat Adipati memerintahkan untuk membabad Hutan Nangka Dhoyong yang terkenal angker. Dan Sang Adipati pun menjelaskan jika tidak dilakukan pembabadan dan tidak memindahkan Kadipaten Sumingkar maka akan terjadi bencana hingga seluruh Kesultanan Ngayogyakarta. Adipati meminta agar dari sekian yang hadir berkenan melaksanakan titah Sultan, namun semua hanya diam. Sehingga beliau pun ingin melakukan titah Sultan sendirian. Namun tetika pernyataan itu muncul datanglah Sang Demang Wanapawiro. Sang Demang pun bersedia membabad Alas Nangka Dhoyong untuk membangun kota praja Kabupaten Gunungkidul, seperti halnya titah Sultan Hamengkubuwana.

Sebelum melaksanakan babad alas, Demang Wanapawiro menuju Piyaman meminta saran kepada Nyi Nitisari. Nyi Niti adalah saudara kandung dari Demang Wanapawiro. Mereka termasuk dari keturunan pelarian Majapahit waktu itu. Nyi Niti itu adalah orang yang terkenal di Gunung Kidul. Beliau dikenal supranatural dan paham tentang Hutan Nangka Dhoyong. Nyi Niti menyarankan sebelum babad alas agar melakukan selametan dan pensucian diri.

Kemudian Demang Wanapawiro dibantu dalam melaksanakan tirakat di bawah pohon tua yang besar. Mereka selalu mendapatkan gangguan dari jin dan makhluk halus lainnya. Namun semua itu dilalui tanpa takut. Malah makhluk-makhluk itu yang kalah. Dan munculah Nyi Gadhung Melati penghuni sekaligus utusan penguasa Laut Kidul, sehingga terjadilah pertarungan antara mereka. Dalam perterungan ini tak satupun yang dapat dikalahkan sehingga muncul perundingan dan Nyi Niti serta Demang Wanapawiro menceritakan niat mereka untuk babad alas untuk menjadikan Kota Praja. Akhirnya Nyi Gadhung Melati merestui tentu atas ijin Ratu Kidul. Namun harus ada syaratnya, yaitu agar pohon tua itu tidak ditebang supaya untuk menjaga masyarakat menempati wilayah itu nantinya. Syarat itu pun disetujui oleh Nyi Niti serta Demang Wanapawiro. Dan Nyi Gadhung Melati dengan segera memerintahkan kepada para Jin untuk membantu terwujudnya Kota Praja dengan membabad Hutan Nangka Dhoyong.

Setelah perundingan selesai, Demang Wanapawiro segera menghadap Adipati Wiranagara untuk meminta persetujuan agar segera terlaksana dalam babad alas tersebut. Nyi Niti serta Demang Wanapawiro yang dibantu oleh penduduk Piyaman mengadakan selametan untuk babad alas. Diceritakan juga bahwa penduduk Piyaman ikut membantu babad alas dikarenakan lihai dan terbiasa babad alas. Kini terwujudlah Kota Praja yang diinginkan Sultan Hamengkubuwana I.

Adipati Wiranagara memuji Demang Wanapawiro yang bisa mengubah hutan belantara menjadi sebuah kota. Diceritakan ada salah satu Putri dari Kepanjen Semanu (putra-putrinnya Panji Harjadipura) bernama Rara Sudarmi yang bersama Mbok Tuminah. Rara Sudarmi bertemu dengan Demang Wanapawiro yang juga menyukai Rara Sudarmi. Rara Sudarmi lan Mbok Tuminah akhirnya bertamu ke rumah Nyi Niti yang tak lain adalah saudara jauh dari Panji Harjadipura ayah Rara Sudarmi. Singkat cerita, Demang Wanapawira dan Rara Sudarmi dijodohkan dan menikah yang disaksikan oleh Ki Niti dan Mbok Nitisari.

Dalam waktu yang tidak lama Kota Praja yang dulunya Hutan Nangka Dhoyong kini menjadi ramai. Adipati Wiranegara sekali lagi memberi keparcayaan kepada Demang Wanapawira agar dapat membangun koya praja yang asri dan indah. Adipati Wiranegara melaporkan karya Demang Wanapawira kepada Sultan Hamengkubuwana melalui Patih Danureja. Karena jasanya dalam membabad Alas Nangka Dhoyong menjadi kota yang asri. Rakyat rakyatpun memuji Demang Wanapawira.

Peresmian bekas Hutan Nangka Dhoyong pun terlaksana dan Sultan Hamengkubuwana I member tanda Kota Nangka Dhoyong diambil dari nama ‘Wanapawira’ digabungkan dengan nama ‘Nitisari’, menjadi ‘Wanasari’. Sekarang biasa disebut ‘Wonosari’. Adapula yang menyebut nama kutha praja Gunungkidul yang terbentuk dari babad alas ini berasal dari nama ‘Wana’ yang berarti ‘alas’ atau hutan dalam bahasa Indonesia, dan kata ‘asri’ yang sering terucap ‘sari’artinya ‘endah’ atau indah dalam bahasa Indonesia.

Kemudian Demang Wanapawira diangkat menjadi adipati dengan gelar Adipati Wiranegara II. Panji Harjadipura diangkat jadi patih panitipraja Kabupaten Gunungkidul. Akhirnya nama Wanapawira dan Rara Sudarmi menyatu. Dimana Wanapawira, (‘Wana’ atau  ‘wono’ berarti ‘alas’ atau hutan, ‘pawira’ berarti ‘wong lanang-kendel-prajurit/ seorang prajurit lelaki yang tangguh’), bisa ‘membabad’ semua kadurhakaan yang ada di kanan kirinya, dengan kesungguhan dalam hatinya. Yaitu ‘alas rowe/kekuatan’ di dalam hati. Tentu dengan ‘ilmu’ dan ‘saudara’ yang dapat menguatkan dirinya, menjadi ‘tukang babad’, sesungguhnya.

Sumber sumber berasal dari cerita lisan (cerita rakyat) yang sementara masih menjadi misteri di Gunungkidul sebelah lor-kulon [utara-barat]. Diceritakan oleh Sastra Suwarna, mantan Kadus Piyaman I, Gunungkidul, dengan tambahan yang dirasa perlu untuk penulisan. Serta masih ada cerita yang belum tersingkap di Karangmojo-Ponjong-Semanu mengenai asal usul Kota Wonosari Kabupaten Gunungkidul, yang dirasa berbeda ‘kepentingan’ dengancerita lisan ini. Atau versi babad yang bewujud buku atau naskah yang tersimpan rapat di dalam Kraton Ngayogyakarta.

Untuk Kabupaten Gunungkidul, data yang saya peroleh menyimpulkan bahwa hari lahir Kabupaten Gunungkidul adalah Hari Jumat Legi tanggal 27 Mei 1831 atau Tahun Jawa 15 Besar Tahun Je 1758 dan dikuatkan dengan Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Gunungkidul No : 70/188.45/6/1985 tentang Penetapan hari, tanggal bulan dan tahun Hari Jadi Kabupaten Gunungkidul yang ditandatangani oleh bupati saat itu Drs KRT Sosro Hadiningrat tanggal 14 Juni 1985.

BUPATI YANG PERNAH MEMIMPIN KABUPATEN GUNUNGKIDUL:

1. Mas Tumenggung Pontjodirjo
2. Raden Tumenggung Prawirosetiko
3. Raden Tumenggung Suryokusumo
4. Raden Tumenggung Tjokrokusumo
5. Raden Tumenggung Padmonegoro
6. Raden Tumenggung Danuhadiningrat
7. Raden Tumenggung Mertodiningrat
8. KRT. Yudodiningrat
9. KRT. Pringgodiningrat
10. KRT. Djojodiningrat
11. KRT. Mertodiningrat
12. KRT. Dirjodiningrat
13. KRT. Tirtodiningrat
14. KRT. Suryaningrat
15. KRT. Labaningrat
16. KRT. Brataningrat
17. KRT. Wiraningrat
18. Prawirosuwignyo
19. KRT. Djojodiningrat, BA
20. Ir. Raden Darmakun Darmokusumo
21. Drs. KRT. Sosrodiningrat
22. Ir. Soebekti Soenarto
23. KRT. Harsodingrat, BA
24. Drs. KRT. Hardjohadinegoro (Drs.Yoetikno)
25. Suharto, SH.
26. Prof. DR. Ir. H. Sumpeno Putro, M.Sc
27. Hj. Badingah, S.Sos. [saat ini]

Situs Sejarah:

Pertapan Kembang Lampir (tempat turunnya wahyu kerajaan Mataram Islam)
Pesarehan Ki Ageng Giring IV
Pesarehan R. Bondan Kejawan
Prasasti Ngobaran, dll

Secara yuridis, status Kabupaten Gunungkidul sebagai salah satu daerah kabupaten kabupaten yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam lingkungan Daerah Istimewa Yogyakarta dan berkedudukan di Wonosari sebagai ibukota kabupaten, ditetapkan pada tanggal 15 Agustus 1950 dengan UU no 15 Tahun 1950 jo Peraturan Pemerintah No 32 tahun 1950 pada saat Gunungkidul dipimpin oleh KRT Labaningrat.
Guna mengabadikan Hari Jadi Kabupaten Gunungkidul dibangun prasasti berupa tugu di makam bupati pertama Mas Tumenggung Pontjodirjo dengan bertuliskan Suryo sangkala dan Condro sangkala berbunyi : NYATA WIGNYA MANGGALANING NATA ” HANYIPTA TUMATANING SWAPROJO” Menuruut Suryo sangkala tahun 1831 dibalik 1381, sedang Condro sangkala 1758 dibalik 8571.
Arti Logo
 
Sesuai dengan Perda Nomor : 1 tahun 1968 Lambang Daerah pemerintah Kabupaten Gunungkidul mengandung makna tersendiri sebagai berikut :
1.      Perisai sebagai alat penangkis serangan musuh/untuk melindungi diri.
2.      Bintang bersudut 5(lima) berwarna kuning emas, mengingatkan akan keagunganl Tuhan Yang Maha  Esa sebagai sumber segala perikehidupan dan penghidupan serta "Sangran paraning dumadi".
3.      Lukisan pohon beringin yang melambangkan pengayoman, tempat berteduh bagi rakyat yang  memerlukan pimpinan dan perlindungan dengan 5 (lima) akar dasar yang berarti bahwa  kepemimpinan di dalam Daerah Kabupaten Gunungkidul berdasarkan dan berlandaskan Falsafah  Negara Republik Indonesia: Pancasila.
4.      Pohon bercabang 3 (tiga) melambangkan, bahwa Pemerintah sebagai pelindung dari rakyat  mempunyai 3 (tiga) bidang, yakni : legislatif,eksekutif dan yudikatif. Pohon beringin mempunyai sulur (akar angin) 8 buah (sebelah menyebelah pokok pohon 4  sulur) berarti bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten Gunungkidul dalam melindungi, membina dan  memimpin maupun memerintah rakyat mengulurkan tangannya dan memberikan kesempatan kepada  rakyat untuk ikut serta secara aktif dalam pemerintahan dengan jalan melaksanakan dan  memberikan social control, social participation dan social responbility sehingga dapat tercapai  koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan simplifikasi.
5.      Roda bergigi, dalam naungan/pengayoman pemerintah, rakyat Gunungkidul giat membangun segala  bidang yang dilukiskan dengan sebuah roda bergigi berwarna putih perak, karenanya pembangunan  dilaksanakan dengan kesucian lahir batin.
6.      Lukisan busur panah berwarna merah putih berarti rakyat Gunungkidul gigih berjuang melawan  semua penghambat pembangunan di segala bidang yang ada dalam semangat kesatuan dan  persatuan yang digambarkan dengan, warna-warni sang saka, bendera pusaka kita:merah putih.
7.      Setangkai daun ketelah pohon (singkong) menggambarkan hasil produksi terbanyak didaerah     Gunungkidul.
8.      Sepasang burung lawet berwarna hitam menggambarkan salah satu hasil daerah Gunungkidul yang  tinggi nilainya yakni sarang burungnya. Selain itu burung lawet adalah burung yang tahan hidup di  daerah yang sangat sulit. Demikian pula rakyat Gunungkidul, meskipun tempat tinggalnya tandus dan sangat sulit, namun dengan semangat dan penuh keinsyafan dan rasa tanggung jawab  terhadap generasi yang akan datang selalu berusaha dengan sekuat tenaga menghasilkan kerja  yang kondusif dan produktif.
9.      Keris luk 5, dapur : Pandawa, berwarna kuning emas, mewujudkan senjata ampuh dan naluri di  tangan dan pemimpin-pemimpinnya dalam menghadapi segala tantangan dan rintangan.
10.  Sederetan bukit berjumlaha 8 (delapan) buah menggambarkan daerah Gunungkidul yang berbukit-  bukit. Perlu kemantapan serta keteguhan hati untuk mengolahnya. Bukit yang berjumlah 8  (delapan) buah melambangkan "Hasta Dharma yaitu :
·         Pengayoman seluruh rakyat tanpa membedakan golongan aliran dan agama.
·         Pemberi petunjuk dan bimbingan kepada rakyat menunjukkan ketertiban dan keamanan.
·         Penyuluh dalam gelap dan penolong dalam penderitaan bagi seluruh lapisan masyarakat,    sehingga  terjadi ketenangan dan ketentraman lahir dan batin.
·         Pembina semangat kehidupan masyarakat sehingga tertanam sikap dan sifat dinamis, konstruktis,  dan korektif.
·         Pembangkit dan pemupuk daya cipta menuju ke arah kesejahteraan masyarakat.
·         Sifat sabar, tekun, ulet dan bijaksana agar dapat menampung dan mencarikan penyelesaian segala  persoalan hidup dan kehidupan rakyat sehari-hari.
·         Penggerak segala kegiatan masyarakat menuju tercapainya masyarakat adil makmur yang diridhoi  Tuhan Yang Maha Esa.
·         Memberantas kejahatan dan kemaksiatan dengan jalan bertindak tegas, adil dan jujur tanpa  pandang bulu dan harus menjadi teladan didalam kebaikan lahir, batin dan kemaslahatan.
11.  Setangkai padi berisi 5 (lima) butir padi berwarna kuning emas melambangkan kemakmuran Bangsa  Indonesia umumnya dan khususnya yang dicita-citakan rakyat Gunungkidul dalam bidang pangan.
12.  Setangkai kapas berbunga 4 (empat) buah dan berdaun 8 (delapan) helai melambangkan  kemakmuran Bangsa Indonesia umumnya dan Kabupaten Gunungkidul khususnya pada bidang  sandang.
13.  Lukisan laut dengan gelombang/ombak yang berjumlah 17 (tujuh belas) berwarna putih perak  menggambarkan bahwa Daerah Kabupaten Gunungkidul berbatasan dengan Lautan Indonesia  yang kaya raya.
14.  Rumput laut yang digambarkan berwarna coklat mewujudkan hasil Gunungkidul yang penting.
15.  Sehelai pita kuning bertuliskan "GUNUNGKIDUL" sebagai petunjuk bahwa lambang tersebut milik  Daerah Kabupaten Gunungkidul
16.  Warna-warna melambangkan sifat sebagai berikut :
Ø  Kuning/kuning emas : keluhuran yang bijaksanya atau cendekia
Ø  Hijau : doa, harapan dan Kepercayaan.
Ø  Biru : ketaatan, kesetiaan
Ø  Hitam : Kemantapan, keteguhan dan kekekalan
Ø  Merah : berani yang gagah perkasa
Ø  Putih : Kesucian yang bersih tanpa pamrih
Ø  Cokelat : kokoh, sentosa 
Nilai Budaya
Bangunan periode Islam ini terletak di Dusun Watugajah Desa Girijati Kecamatan Purwaosari. Situs ini seluas 13.200 meter persegi dan terletak di ketinggian 138 mdpl. Memliki struktur bangunan berteras dan berbahan batu putih. Di dalam OV (Oudheidkundige Verslag) tahun 1925 FDK Bosch menyebut bangunan ini berasal dari abad XVI dan berdasar gaya arsitektur dan pilar-pilar yang masih nampak bercorak Islam. Kisah tutur yang berkembang di masyarakat sekitar, pesanggrahan ini merupakan pesanggrahan putra-putra Prabu Brawijaya.


Gunung Kidul memiliki semboyan HANDAYANI :

H kependekan dari Hijau berarti :
Bahwa penghijuaan di Kawasan Kabupaten Gunungkidul tetap dan terus digalakkan agar tetap hijau sehingga menambah dan meningkatkan kesuburan dan karena hijau adalah kunci keberhasilan pebangunan di Kabupaten Gunugkidul.

A kependekan dari Aman berarti:
Bahwa suasana di Kabupaten Gunungkidul diharapkan selalu dala keadaan aman dan tentram, yang senantiasa terjaga ketertiban dan keamanannya sehingga dapat menunjang stabilitas nasional.

N kependekan dari Normatif berarti:
Segala tidakan semua aparat pemerintah beserta masyarakat senantiasa berdasarkan hukum dan peraturan perudang-undangan yang berlaku untuk mewujudkan aparatur pemerintah yang bersih dan wibawa serta masyarakat dan sadar hukum.

D kependekan dari Dinamis berarti:
Masyarakat dalam melaksanakan kegiatan pembangunan penuh semangat, jiwa dan tenaga sehingga dapat bergerak dan mudah menyesuaikan diri dengan keadaan dalam mencapai keberhasilan pembangunan.

A kependekan dari Amal berarti:
Masyarakat Gunugkidul senantiasa sadar untuk melakukan amal shaleh dan atau
perbuatan luhur dengan berlandaskan iman yang kuat serta taqwa kepada Tuha YME.


Y kependekan dari Yakin berarti:
Aparatur pemerintah dan masyarakat harus percaya diri sendiri, tegas dan mantap dalam bertindak dan mengambil keputusan sehigga dalam melaksanakan setiap program kerja/kegiata pembangunan di yakini dapat berhsil dengan baik dan semakin meningkat.

A kependekan dari Asah Asih Asuh berarti :
Untuk menggrakkan masyarakat Gunungkidul dalam melaksanakan pembangunan senantiasa mengembangkan sikap-sikap mendidik/melatih dengan penuh kasih sayag, dan membimbingnya serta memelihara supaya dapat mempunyai kemampuan untuk mandiri.

N kependekan dari Nilai Tambah berarti:
Hasil dari setiap usaha diharapkan selalu mempunyai nilai tambah sehingga dapat semakin meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

I kependekan dari Indah berarti:
Lingkungan panorama alam Gunungkidul yang indah, menarik dan menawan perlu dilestarikan serta obyek-obyek wisata relijious, wisata budaya,wisata sejarah, wisata pantai, wisata goa maupun wisata hutan perlu ditingkatkan penataannya agar lebih menarik para wisatawan sehingga mampu menambah dan meningkatkan pendapatan daerah.

Saya tulis ulang cerita ini dari berbagai sumber blog. Serta saya tambahkan kata yang diperlukan saat menyusun dan menyatukan cerita ini. Dalam menyatukan cerita-cerita ini, saya tidak bermaksud untuk melecehkan atau merusak cerita yang sudah ada terlebih dahulu.
Sumber :
http://www.wonosari.com/t2889-note-asal-usul-wonosari-pada-babad-alas-nangka-dhoyong yang berbahasa Jawa dan saya terjemahkan dalam bahasa Indonesia.









5 komentar:

Unknown mengatakan...

Rest Area Jalur Wisata Solo – Pantai Indrayanti, Pantai Baron ... Rest Area Jalur Mudik Solo – Wonosari ...
HUBUNGI: 085-628-444-56 / 085-227-623-449
Aneka jajan & Oleh-oleh Grosir & Eceran ...
(Singkong bakar, tempe kripik, gadung, stik balado, cumi sayur, lipetan, kripik singkong, manggar pedas, makroni, potato stik, kembang jambu, kacang, dll..)

TOKO MOJOREJO - MOJOREJO MOTOR
Jl. Raya Watukelir – Semin Gunung Kidul Km.3 Alascilik (Pule)
Tegalgiri, Krajan, Weru, Sukoharjo
(600 meter utara pasar Candirejo-Semin)
Toko warna warni sebelah timur jalan.. Habis tanjakan dari arah solo setelah balai desa krajan..
Buka sampai malam.. Hari Besar & Minggu tetap buka..

Agar perjalanan anda tetap lancar kami sediakan:
Ban Murah – Berkwalitas – Made In Indonesia
2.25-17 = Rp. 65.000,-
2.50-17 = Rp. 65.000,-
2.75-17 = Rp. 65.000,-
Sedia aneka macam olie:
Shell Adv AX5, Shell Adv SX, Enduro 4T, Federal UT, Federal Flick, Castrol Go, Castrol Activ, Yamalube, Mesran, Evalube 2T, SGO 4T, Top1, AHM MPX1, AHM MPX2

Kami sediakan untuk anda segala kebutuhan perkantoran & accesories perlengkapan sekolah, jam tangan gaul, kalkulator, perlengkapan pramuka, Fotokopi..

RACHMAT DIANTO mengatakan...

oke. terima kasih infonya....

kebetulan aku punya keluarga di daerah kec semin. tepatnya di sempu kidul.

Mungkin lain waktu aku bsa mampir di bengkel anda

papa agung mengatakan...

Sebelumnya saya mohon maaf dalam berkomentar.. Mohon kalau membuat artikel yang berbau sejarah jangan asal tulis, jangan asal comot sana sini, jangan asal copy paste dari sumber lain dan harus bisa membuktikan sumber sejarahnya sehingga bisa menjadi acuan bukan malah menyesatkan sejarah…!! Dari artikel ini menurut saya telah terjadi “PENYESATAN SEJARAH” sehingga akan membawa pembaca untuk meyakini suatu hal yang salah..! Parahnya kalau hal ini disebarluaskan sehingga membawa dampak buruk yaitu pembodohan terhadap masyarakat. Beberapa hal yang menurut saya terjadi kejanggalan dan kesalahan dalam hal ini adalah;
1. Kalau tokoh yang bernama “R. Dewa Katong” itu benar saudara Brawijaya V, pertanyaan saya adl berapa umur beliau sampai dengan meninggalnya..?? Karena Brawijaya V (Bhre Kertabhumi) itu telah wafat pada tahun 1478, mungkinkah beliau berumur lebih dari 400 tahun..??? Demikian juga anaknya yang bernama R Suromejo, benarkah beliau anak dari “R Dewa Katong”..? Apakah mungkin beliau juga berumur ratusan tahun…?
2. Pada tahun 1831, Kerajaan Mataram sudah tidak ada lagi..!, Terus Mataram yang mana saat itu? Karena yang ada adalah KASUNANAN SURAKARTA, KASULTANAN NGAYOGYAKARTA HADININGRAT, PROJO MANGKUNEGARAN dan PROJO PAKU ALAMAN.
3. Amangkurat Amral atau Amangkurat II adalah Raja Mataram yang memerintah tahun 1677-1703, mungkinkah terjadi beliau masih hidup pada tahun 1831..? kalau ternyata atau misal terjadi kesalahan tahun pelantikan bupati I GK, inipun juga terjadi periode waktu yang membingungkan, karena bagaimana mungkin beliau memerintahkan orang yang pada jamannya beliau berkuasa orang itu ( Pangeran Sambernyowo) belum lahir…??
4. Kalau benar Bupati I Gunung Kidul Pontjodirjo di lantik pada tahun 1831 oleh Pangeran Sambernyowo atau KGPAA Mangkunegoro I hal ini terjadi suatu kesalahan periode lagi..! Karena Beliau memerintah tahun 1757-1795. Bagai mana mungkin beliau bisa “Hidup lagi” pada tahun 1831 hanya untuk melantik Pontjodirjo menjadi bupati Gunung Kidul..?? Yang bergelar “PANGERAN SAMBERNYOWO” itu hanya RM Sahid atau Mangkunegoro I dan yang memberi gelar itu adalah Nicolaas Hartingh, gubernur VOC, karena di dalam setiap peperangan RM. Sahid selalu membawa kematian atau menebar maut bagi musuh-musuhnya. Tidak ada Pangeran lain yang bergelar Sambernyowo meskipun di lingkungan Mangkunegaran sendiri. Kalau Pontjodirjo benar dilantik oleh pihak Mangkunegaran yang paling memungkinkan dan pas adalah Mangkunegoro II karena beliau memerintah tahun 1796-1835 tetapi beliau tidak bergelar Sambernyawa.
5. Disebutkan juga bahwa pada jaman Hamengku Buwono I terjadi peralihan nama dari Gunung Kidul menjadi Sumengkar dan ini dari urutan paragraph ditulis “SELANJUTNYA” artinya ini terjadi setelah penentuan batas wilayah antara Mangkunegoro II dan Sultan, kata-kata ini pun juga saya ambil pada paragraph sebelumnya. Sampai pada cerita ini menurut saya telah terjadi lagi Pemerintahan yang membingungkan….! Bagaimana tidak membingungkan..?
a. Sultan Hamengku Buwono I (HB I) wafat pada tahun 1792 dan Mangkunegoro II (MN II) memerintah 1796-1835 sedangkan dalam artikel ini di tulis telah terjadi perjanjian antara Mangkunegoro II dengan Sultan. Mungkinkah RM Sulomo sebelum menjadi MN II telah di akui kekuasaannya oleh HB I…? ataukah setelah pelantikan MN II 1796 HB I masih hidup..?
b. Disebutkan telah terjadi nama Gunung kidul berubah menjadi Sumengkar dengan Bupatinya bernama Wiranegara bahkan masih di teruskan oleh Wiranegara II. Tetapi dalam daftar nama bupati yang pernah memerintah kabupaten Gunung Kidul TIDAK ADA nama “WIRANEGARA”. Adakah bukti atau catatan sejarah yang mendukungnya…?
c. TERIMA KASIH………

Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Unknown mengatakan...

tp aku pernah baca_R Brawajiya itu moksa nya di Ngobaran(terbukti di sana ada petilasannya) bukan Bribin(sebab rentetan cerita Bribin ada lagi malah jaman wali(sungai Ngrènèng).
maturnuwun.