ALAM...Menyimpan kekuatan dan keunikan tersendiri di mana manusia belum tentu dapat menikmatinya dan belum tentu pula dapat mengartikan isi dan misteri yang terkandung di dalamnya.
Jumat, 08 Maret 2013
Kamis, 31 Januari 2013
MATEMATIKA yg BENAR
1. Penambahan (menambah-nambah amal sholih/kebaikan utk semua orang, BUKAN menambah-nambah nilai proyek alias mark-up.seperti proyek hambalang dr 100 M jd 1 T lebih, proyek century dr 600 M jd 6 T lebih);
2. Pengurangan (mengurangi segala bentuk kemaksiatan/keburukan, juga mengurangi jumlah org miskin, org sakit & org bodoh, BUKAN mengurangi takaran, timbangan, & hak2 rakyat seperti curang dlm berdagang & mengkorup uang rakyat);
3. Perkalian (melipat-gandakan perhatian, kepedulian & pertolongan kita kpd diri kita masing-masing, keluarga kita, & masyarakat sekitar kita , BUKAN melipatgandakan pola hidup kapitalisme, materialisme, konsumerisme, & liberalisme);
4. Pembagian (membagi-bagikan sebagian rejeki kita – yaitu sandang, pangan, uang, barang, kepandaian, kesehatan, kedamaian, kebahagiaan, dsb-dsb.- kpd mereka yg sangat membutuhkan, terutama fakir-miskin, yatim-piatu, dsb, BUKAN membagi-bagi fitnah, berita bohong, hasil korupsi, penyalahgunaan narkoba, & semua keburukan ke masyarakat);
5. Pengkwadratan (mengkwadratkan atau melipatgandakan dg berlipat-lipat seluruh kebaikan kepada sesama manusia, yg dimulai dari keluarga, tetangga, saudara, masyakakat sekitar & sesama anak bangsa, BUKAN mengkwadratkan hasil keuntungan kekayaan alam untuk bangsa (perusahaan) asing, sedang anak bangsa sendiri cuma dapet sisanya yg amat sangat sedikit).
Marilah kita renungkan firman Allah dlm al-Quran, tentang “Matematika”:
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui” (QS al-Baqarah 2:261).
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?” (QS al-Muthaffifiin 83:1-6).
Bermegah-megahan (berlebih-lebihan, rakus) telah melalaikan kamu sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin. niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim. dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin (mata kepalamu), kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu)” (QS at-Takaatsuur 102:1-8)
Ketajaman Fitnah
untuk sahabat untuk teman untuk saudara, ketahuilah ketajaman lidah lebih tajam dengan ketajaman pedang samurai, jangan bicara selagi ada bukti jangan mengucap selagi kamu gag mengerti dan jangan mendengar selagi kao tau asal usul perkataan dari gosip, apa lagi engakao menyebarkan apa yg kao dengar sebelum engkao tau masalah aslinya, allah subhanahu wataala akan membakar mulut penyebar fitnah
Makna Fitnah dalam Al Qur’an
Dalam Al Qur’an, hadits-hadits Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam dan
istilah Islam sendiri, fitmah itu memiliki segudang makna. Makna kata
itu dalam satu ayat, terkadang sangat berbeda dengan maknanya dalam ayat
lain.
a. Fitnah, Bermakna kekafiran
Terkadang makna fitnah adalah kekafiran atau kemusyrikan, seperti dalam friman Allah Ta’ala,
“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah:
“Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah . Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya” (Al Baqarah: 217)
“Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah . Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya” (Al Baqarah: 217)
“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada
fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah.
Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan
(lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim” (Al Baqarah: 193)
Kata fitnah disini menurut para ulama Ahli tafsir adalah
‘kekafiran’ atau ‘kemusyrikan’. Yakni bahwa mereka itu menyebarkan
kekafiran. Sementara sebagian kaum muslimin –karena belum diberitahu
oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam-, melakukan kekeliruan dengan
memerangi kaum musyrik di bulan suci. Perbuatan mereka itu keliru, dalam
arti tidak pantas. Tapi kekafiran kaum musyrik itu lebig besar
bahayanya daripada kekeliruan berperang di bulan suci. Itulah makna yang
jelas dari ayat tersebut.
Tapi semenjak dahulu, umumnya para juru dakwah di tanah
air, saat menyampaikan ayat ini, tidak menjelaskan kata fitnah dalam
ayat. Sehingga kebanyakan masyarakat Islam mengidentikkan makna fitnah
tersebut. Seperti dalam kosakata bahasa kita, yaitu menuduh tanpa bukti.
Akhrinya tersebarlah makna,”fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan”,
yakni bahwa menuduh orang tanpa bukti. Lebih besar dosanya daripada
membunuh!
Ini jelas salah kaprah. Dan karena kasu-kasus seperti
ini, saya sering menyampaikan pesan kepada juru dakwah, agar
berhati-hati dalam menyampaikan kata-kata bahasa Arab dalam dakwah,
tanpa diterjemahkan. Karena khawatir akan timbul kesalahpahaman atau
ketidakmengertian di kalangan para pendengar dakwah, yang umumnya adalah
masyarakat awam yang tidak mengerti bahasa Arab.
b. Fitnah, bermakna Musibah/Bencana
“Apbila datang kepada kalian seorang pemuda yang kalian
sukai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia dengan putri kalian.
Kalau tidak, akan terjadi fitnah (bencana) dan kerusakan yang besar di
muka bumi.”
Bila seorang juru dakwah mengatakan, “Nikahkanlah putri
Anda dengan pemuda shalih dan berakhlak baik, agar tidak terjadi
fitnah.” Artinya tidak terjadi bencana dan kerusakan.
c. Fitnah, bermakna Konflik
“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur’an)
kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat , itulah
pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mu-tasyaabihaat .
Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka
mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya
untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada
yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah…” (Ali Imran: 7)
Ada diantara sebagian orang Islam yang mendewakan rasio,
di mana mereka gemar mencari penafsiran ayat melalui logika, sehingga
melenceng dari tafsir yang sesungguhnya. Tujuan mereka semata-mata
menyebar fitnah, yakni mencari konflik dan perselisihan dengan sesama
muslim.
d. Fitnah, bermakna Kedustaan (Kericuhan)
“Kemudian tiadalah fitnah mereka, kecuali mengatakan: “Demi Allah, Tuhan kami, tiadalah kami mempersekutukan Allah” (Al An’am: 23)
Fitnah yang dimaksud dalam ayat ini adalah ucapan mereka
yang berlumur kedustaan, untuk membela diri mereka di hadapan Allah.
Padahal Allah mengetahui hakikat mereka, dan apa yang tersembunyi dalam
hati mereka.
e. Fitnah, bermakna Kebinasaan
“Di antara mereka ada orang yang berkata:
“Berilah saya keizinan (tidak pergi berperang) dan janganlah kamu
menjadikan saya terjerumus dalam fitnah.” Ketahuilah bahwa mereka telah
terjerumus ke dalam fitnah . Dan sesungguhnya Jahannam itu benar-benar
meliputi orang-orang yang kafir” (At Taubah: 49)
Yakni bahwa kaum munafik di masa Nabi shalallahu ‘alaihi
wassalam akan membawa kepada kebinasaan semata. Padahal. Sesungguhnya
mereka sudah berada dalam kebinasaan itu sendiri. Yakni dalam
kemunafikan, yang akan membinasakan diri mereka di akhirat kelak, dalam
kerak nerka jahannam.
f. Fitnah, bermakna Korban Kezhaliman
“Lalu mereka berkata: “Kepada Allahlah kami bertawakkal!
Ya Tuhan kami. janganlah Engkau jadikan kami sasaran fitnah bagi kaum
yang’zalim” (Ynus: 85)
Yakni doa kaum beriman, agar mereka tidak dijadikan
sebagai fitnah, dalam arti sasaran kazhaliman, kesewenang-wenangan
orang-orang yang suka berbuat zhalim. Sebagaimana doa yang dianjurkan
oleh Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam,
“Ya Allah, janganlah Engkau beri kekuasaan orang-orang
yang tidak takut kepada-Mu dan tidak menyayangi kami, untuk menzhalimi
kami, akibat dosa-dosa kami…”
g. Fitnah, bermakna “Gangguan”
“Dan di antara manusia ada orang yang berkata:
“Kami beriman kepada Allah”, maka apabila ia disakiti (karena ia
beriman) kepada Allah, ia menganggap fitnah manusia itu sebagai azab
Allah . Dan sungguh jika datang pertolongan dari Tuhanmu, mereka pasti
akan berkata: “Sesungguhnya kami adalah besertamu”. Bukankah Allah lebih
mengetahui apa yang ada dalam dada semua manusia?” (Al Ankabut: 10)
Dalam ayat ini, kata fitnah berarti ganguan. Fitnah mereka, yaitu gangguan atau sikap usil mereka.
h. Fitnah, bermakna Godaan
Ini termasuk makna fitnah yang paling sering digunakan
dalam bahasa syariat. Fitnah kaum wanita, yakni godaan mereka. Seperti
diperingatkan oleh Nabi shalallahu’alaihi wassalam,
“Peliharalah diri kalian dari bahaya dunia dan wanita.
Karena fitrah (bencana) yang pertama kali menimpa Bani Israil adalh
wanita.” (HR muslim)
Dalam hadits, Nabi juga menegaskan bahwa godaan (fitnah) terberat bagi kaum lelaki adalah wanita.
Yakni bahwa wanita secara fitrah memang memiliki aurat
yang menggoda kaum pria. Oleh sebab itu, Islam memerintahkan kaum wanita
muslimah agar mengenakan hijab yang menutupi sekujur auratnya, agar
setidaknya dapat meminimalisir aura fitnah atau godaan yang memancar
dari dirinya.
KEJAWEN ; Ajaran Luhur Yang Dicurigai & Dikambinghitamkan
KEJAWEN
“Permata” Asli Bumi Nusantara yang Selalu
Dicurigai
Dan Dikambinghitamkan
Kearifan Lokal yang Selalu Dicurigai
Ajaran kejawen, dalam perkembangan sejarahnya mengalami
pasang surut. Hal itu tidak lepas dari adanya benturan-benturan dengan teologi
dan budaya asing (Belanda, Arab, Cina, India, Jepang, AS). Yang paling keras
adalah benturan dengan teologi asing, karena kehadiran kepercayaan baru
disertai dengan upaya-upaya membangun kesan bahwa budaya Jawa itu hina,
memalukan, rendah martabatnya, bahkan kepercayaan lokal disebut sebagai
kekafiran, sehingga harus ditinggalkan sekalipun oleh tuannya sendiri, dan
harus diganti dengan “kepercayaan baru” yang dianggap paling mulia segalanya.
Dengan naifnya kepercayaan baru merekrut pengikut dengan jaminan kepastian
masuk syurga. Gerakan tersebut sangat efektif karena dilakukan secara
sistematis mendapat dukungan dari kekuatan politik asing yang tengah bertarung
di negeri ini.
Selain itu “pendatang baru” selalu berusaha membangun image
buruk terhadap kearifan-kearifan lokal (baca: budaya Jawa) dengan cara
memberikan contoh-contoh patologi sosial (penyakit masyarakat), penyimpangan
sosial, pelanggaran kaidah Kejawen, yang terjadi saat itu, diklaim oleh “pendatang
baru” sebagai bukti nyata kesesatan ajaran Jawa. Hal itu sama saja dengan
menganggap Islam itu buruk dengan cara menampilkan contoh perbuatan sadis
terorisme, menteri agama yang korupsi, pejabat berjilbab yang selingkuh, kyai
yang menghamili santrinya, dst.
Tidak berhenti disitu saja, kekuatan asing terus
mendiskreditkan manusia Jawa dengan cara memanipulasi atau memutar balik
sejarah masa lampau. Bukti-bukti kearifan lokal dimusnahkan, sehingga banyak
sekali naskah-naskah kuno yang berisi ajaran-ajaran tentang tatakrama, kaidah,
budi pekerti yang luhur bangsa (Jawa) Indonesia kuno sebelum era kewalian
datang, kemudian dibumi hanguskan oleh para “pendatang baru” tersebut. Kosa
kata Jawa juga mengalami penjajahan, istilah-istilah Jawa yang dahulu mempunyai
makna yang arif, luhur, bijaksana, kemudian dibelokkan maknanya menurut
kepentingan dan perspektif subyektif disesuaikan dengan kepentingan “pendatang
baru” yang tidak suka dengan “local wisdom”. Akibatnya; istilah-istilah
seperti; kejawen, klenik, mistis, tahyul mengalami degradasi makna, dan
berkonotasi negatif. Istilah-istilah tersebut “di-sama-makna-kan” dengan dosa
dan larangan-larangan dogma agama; misalnya; kemusyrikan, gugon tuhon, budak
setan, menyembah setan, dst. Padahal tidak demikian makna aslinya,
sebaliknya istilah tersebut justru mempunyai arti yang sangat religius sbb;
Klenik : merupakan pemahaman terhadap suatu kejadian yang
dihubungkan dengan hukum sebab akibat yang berkaitan dengan kekuatan
gaib (metafisik) yang tidak lain bersumber dari Dzat tertinggi yakni Tuhan Yang
Maha Suci. Di dalam agama manapun unsur “klenik” ini selalu ada.
Mistis : adalah ruang atau wilayah gaib yang dapat dirambah dan
dipahami manusia, sebagai upayanya untuk memahami Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam
agama Islam ruang mistik untuk memahami sejatinya Tuhan dikenal dengan istilah
tasawuf.
Tahyul : adalah kepercayaan akan hal-hal yang gaib yang berhubungan
dengan makhluk gaib ciptan Tuhan. Manusia Jawa sangat mempercayai adanya
kekuatan gaib yang dipahaminya sebagai wujud dari kebesaran Tuhan Sang Maha
Pencipta. Kepercayaan kepada yang gaib ini juga terdapat di dalam rukun
Islam.
Tradisi : dalam tradisi Jawa, seseorang dapat mewujudkan doa
dalam bentuk lambang atau simbol. Lambang dan simbol dilengkapi dengan sarana ubo
rampe sebagai pelengkap kesempurnaan dalam berdoa. Lambang dan simbol juga
mengartikan secara kias bahasa alam yang dipercaya manusia Jawa sebagai bentuk
isyarat akan kehendak Tuhan. Manusia Jawa akan merasa lebih dekat dengan Tuhan
jika doanya tidak sekedar diucapkan di mulut saja (NATO: not action talk only),
melainkan dengan diwujudkan dalam bentuk tumpeng, sesaji dsb sebagi simbol kemanunggalan
tekad bulat. Maka manusia Jawa dalam berdoa melibatkan empat unsur
tekad bulat yakni hati, fikiran, ucapan, dan tindakan.
Upacara-upacara tradisional sebagai bentuk kepedulian pada lingkungannya, baik
kepada lingkungan masyarakat manusia maupun masyarakat gaib yang hidup
berdampingan, agar selaras dan harmonis dalam manembah kapada Tuhan.
Bagi manusia Jawa, setiap rasa syukur dan doa harus diwujudkan dalam bentuk
tindakan riil (ihtiyar) sebagai bentuk ketabahan dan kebulatan tekad yang
diyakini dapat membuat doa terkabul. Akan tetapi niat dan makna dibalik tradisi
ritual tersebut sering dianggap sebagai kegiatan gugon tuhon/ela-elu,
asal ngikut saja, sikap menghamburkan, dan bentuk kemubadiran, dst.
Kejawen : berisi kaidah moral dan budi pekerti luhur, serta memuat
tata cara manusia dalam melakukan penyembahan tertinggi kepada Tuhan Yang Maha
Tunggal. Akan tetapi, setelah abad 15 Majapahit runtuh oleh serbuan anaknya
sendiri, dengan cara serampangan dan subyektif, jauh dari kearifan dan budi
pekerti yg luhur, “pendatang baru” menganggap ajaran kejawen sebagai biangnya
kemusyrikan, kesesatan, kebobrokan moral, dan kekafiran. Maka harus
dimusnahkan. Ironisnya, manusia Jawa yang sudah “kejawan” ilang jawane,
justru mempuyai andil besar dalam upaya cultural assasination ini.
Mereka lupa bahwa nilai budaya asli nenek moyang mereka itulah yang pernah
membawa bumi nusantara ini menggapai masa kejayaannya di era Majapahit hingga
berlangsung selama lima generasi penerus tahta kerajaan.
Ajaran Tentang Budi Pekerti, Menggapai Manusia Sejati
Dalam khasanah referensi kebudayaan Jawa dikenal berbagai
literatur sastra yang mempunyai gaya penulisan beragam dan unik. Sebut saja
misalnya; kitab, suluk, serat, babad, yang biasanya tidak hanya sekedar
kumpulan baris-baris kalimat, tetapi ditulis dengan seni kesusastraan yang
tinggi, berupa tembang yang disusun dalam bait-bait atau padha
yang merupakan bagian dari tembang misalnya; pupuh, sinom, pangkur, pucung,
asmaradhana dst. Teks yang disusun ialah yang memiliki kandungan unsur
pesan moral, yang diajarkan tokoh-tokoh utama atau penulisnya, mewarnai seluruh
isi teks.
Pendidikan moral budi pekerti menjadi pokok pelajaran yang
diutamakan. Moral atau budi pekerti di sini dalam arti kaidah-kaidah yang
membedakan baik atau buruk segala sesuatu, tata krama, atau
aturan-aturan yang melarang atau menganjurkan seseorang dalam menghadapi
lingkungan alam dan sosialnya. Sumber dari kaidah-kaidah tersebut didasari oleh
keyakinan, gagasan, dan nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat yang
bersangktan. Kaidah tersebut akan tampak dalam manifestasi tingkah laku dan
perbuatan anggota masyarakat.
Demikian lah makna dari ajaran Kejawen yang sesungguhnya,
dengan demikian dapat menambah jelas pemahaman terhadap konsepsi
pendidikan budi pekerti yang mewarnai kebudayaan Jawa. Hal ini dapat diteruskan
kepada generasi muda guna membentuk watak yang berbudi luhur dan bersedia
menempa jiwa yang berkepribadian teguh. Uraian yang memaparkan nilai-nilai
luhur dalam kebudayaan masyarakat Jawa yang diungkapkan diatas dapat membuka
wawasan pikir dan hati nurani bangsa bahwa dalam masyarakat kuno asli pribumi
telah terdapat seperangkat nilai-nilai moralitas yang dapat diterapkan untuk
mengangkat harkat dan martabat hidup manusia.
Dua Ancaman Besar dalam Ajaran Kejawen
Dalam ajaran kejawen, terdapat dua bentuk ancaman
besar yang mendasari sikap kewaspadaan (eling lan waspada), karena dapat
menghancurkan kaidah-kaidah kemanusiaan, yakni; hawanepsu dan pamrih.
Manusia harus mampu meredam hawa nafsu atau nutupi babahan hawa
sanga. Yakni mengontrol nafsu-nafsunya yang muncul dari sembilan unsur yang
terdapat dalam diri manusia, dan melepas pamrihnya.
Dalam perspektif kaidah Jawa, nafsu-nafsu merupakan perasaan
kasar karena menggagalkan kontrol diri manusia, membelenggu, serta buta pada
dunia lahir maupun batin. Nafsu akan memperlemah manusia karena menjadi sumber
yang memboroskan kekuatan-kekuatan batin tanpa ada gunanya. Lebih lanjut,
menurut kaidah Jawa nafsu akan lebih berbahaya karena mampu menutup akal budi.
Sehingga manusia yang menuruti hawa nafsu tidak lagi menuruti akal budinya
(budi pekerti). Manusia demikian tidak dapat mengembangkan segi-segi halusnya,
manusia semakin mengancam lingkungannya, menimbulkan konflik, ketegangan, dan
merusak ketrentaman yang mengganggu stabilitas kebangsaan
NAFSU
Hawa nafsu (lauwamah, amarah, supiyah) secara kejawen
diungkapkan dalam bentuk akronim, yakni apa yang disebut M5 atau malima;
madat, madon, maling, mangan, main; mabuk-mabukan, main perempuan,
mencuri, makan, berjudi. Untuk meredam nafsu malima, manusia Jawa
melakukan laku tapa atau “puasa”. Misalnya; tapa brata, tapa ngrame,
tapa mendhem, tapa ngeli.
Tapa brata ;
sikap perbuatan seseorang yang selalu menahan/puasa hawa nafsu yang berasal
dari lima indra. Nafsu angkara yang buruk yakni lauwamah, amarah, supiyah.
Tapa ngrame; adalah watak untuk giat membantu, menolong sesama tetapi
“sepi” dalam nafsu pamrih yakni golek butuhe dewe.
Tapa mendhem; adalah mengubur nafsu riak, takabur, sombong, suka pamer,
pamrih. Semua sifat buruk dikubur dalam-dalam, termasuk “mengubur” amal
kebaikan yang pernah kita lakukan kepada orang lain, dari benak ingatan kita
sendiri. Manusia suci adalah mereka yang tidak ingat lagi apa saja amal
kebaikan yang pernah dilakukan pada orang lain, sebaliknya selalu ingat semua
kejahatan yg pernah dilakukannya.
Tapa ngeli, yakni menghanyutkan diri ke dalam arus “aliran air sungai
Dzat”, yakni mengikuti kehendak Gusti Maha Wisesa. “Aliran air” milik Tuhan,
seumpama air sungai yang mengalir menyusuri sungai, mengikuti irama alam, lekuk
dan kelok sungai, yang merupakan wujud bahasa “kebijaksanaan” alam. Maka
manusia tersebut akan sampai pada muara samudra kabegjan atau
keberuntungan. Berbeda dengan “aliran air” bah, yang menuruti kehendak nafsu
akan berakhir celaka, karena air bah menerjang wewaler kaidah tata
krama, menghempas “perahu nelayan”, menerjang “pepohonan”, dan menghancurkan
“daratan”.
PAMRIH
Pamrih merupakan ancaman ke dua bagi manusia. Bertindak karena pamrih berarti
hanya mengutamakan kepentingan diri pribadi secara egois. Pamrih, mengabaikan
kepentingan orang lain dan masyarakat. Secara sosiologis, pamrih itu
mengacaukan (chaos) karena tindakannya tidak menghiraukan keselarasan sosial
lingkungannya. Pamrih juga akan menghancurkan diri pribadi dari dalam,
kerana pamrih mengunggulkan secara mutlak keakuannya sendiri (istilahnya Freud;
ego). Karena itu, pamrih akan membatasi diri atau mengisolasi diri dari sumber
kekuatan batin. Dalam kaca mata Jawa, pamrih yang berasal dari nafsu ragawi
akan mengalahkan nafsu sukmani (mutmainah) yang suci. Pamrih mengutamakan
kepentingan-kepentingan duniawi, dengan demikian manusia mengikat dirinya
sendiri dengan dunia luar sehingga manusia tidak sanggup lagi untuk memusatkan
batin dalam dirinya sendiri. Oleh sebab itu pula, pamrih menjadi faktor
penghalang bagi seseorang untuk mencapai “kemanunggalan” kawula gusti.
Pamrih itu seperti apa, tidak setiap orang mampu mengindentifikasi. Kadang orang
dengan mudah mengartikan pamrih itu, tetapi secara tidak sadar terjebak oleh
perspektif subyektif yang berangkat dari kepentingan dirinya sendiri untuk
melakukan pembenaran atas segala tindakannya. Untuk itu penting Sabdalangit kemukakan bentuk-bentuk pamrih
yang dibagi dalam tiga bentuk nafsu dalam perspektif KEJAWEN :
- Nafsu selalu ingin menjadi orang pertama, yakni; nafsu golek menange dhewe; selalu ingin menangnya sendiri.
- Nafsu selalu menganggap dirinya selalu benar; nafsu golek benere dhewe.
- Nafsu selalu mementingkan kebutuhannya sendiri; nafsu golek butuhe dhewe. Kelakuan buruk seperti ini disebut juga sebagai aji mumpung. Misalnya mumpung berkuasa, lantas melakukan korupsi, tanpa peduli dengan nasib orang lain yang tertindas.
Untuk menjaga kaidah-kaidah manusia supaya tetap teguh dalam
menjaga kesucian raga dan jiwanya, dikenal di dalam falsafah dan ajaran Jawa
sebagai lakutama, perilaku hidup yang utama. Sembah merupakan salah satu
bentuk lakutama, sebagaimana di tulis oleh pujangga masyhur (tahun
1811-1880-an) dan pengusaha sukses, yang sekaligus Ratu Gung Binatara terkenal
karena sakti mandraguna, yakni Gusti Mangkunegoro IV dalam kitab Wedhatama
(weda=perilaku, tama=utama) mengemukakan sistematika yang runtut dan teratur
dari yang rendah ke tingkatan tertinggi, yakni catur sembah; sembah
raga, sembah cipta, sembah jiwa, sembah rasa. Catur sembah ini
senada dengan nafsul mutmainah (ajaran Islam) yang digunakan untuk meraih
ma’rifatullah, nggayuh jumbuhing kawula Gusti. Apabila seseorang dapat
menjalani secara runtut catur sembah hingga mencapai sembah yang paling
tinggi, niscaya siapapun akan mendapatkan anugerah agung menjadi manusia linuwih,
atas berkat kemurahan Tuhan Yang Maha Kasih, tidak tergantung apa
agamanya.
Langganan:
Postingan (Atom)